Catatan Pernikahan

Akhirnya... - setelah lama buku itu tertata rapi di rak buku bersama saya dan teman2 satu rumah - buku itu saya sentuh juga. Bukan karena ga suka sama bukunya, saya tau kalau baca bukunya Helvy pasti sudahnya berasa ingin berpuisi dari pagi sampai petang, kalimat-kalimat nya indah. Nah... judulnya saja sudah bikin gemetar, apa pula tu isinya?

Buku itu saya baca pagi ini di perjalanan ke kampus. Berat. Mungkin karena dari pengalaman hidup orang ya dengarnya jadi... berat. Saya langsung mikir ibu saya loh, tepat saat masuk ke bab 4. Mintalah calon suami yang baik dari sejak dini. Ibu saya dari jaman saya SMP bilang itu ke saya. Mungkin karena tanggung jawab nya dunia akhirat kali ya?

well... balik ke bukunya. Kalo nerusin cerita saya, bisa curhat 3 hari 3 malam panjangnya. Nih.. Buku ini ga memperlihatkan melulu kisah cinta antara perempuan dan laki - laki... tapi juga kisah cinta ke sekitar. Ada bahagia, ada sedih, ada meletup - letup. Emosi saya naik di bab Lara... cerita di bab itu juga yang dulu pernah saya jadikan alasan untuk "kalo sudah besar ga mau menikah ah" ke ibu saya yang pada saat itu hanya bisa ber istigfar. Anak gadis masih bau kencur ambil keputusan serius dengan emosi yang lugu > heee. Cerita di bab itu juga buat saya nyaris nangis bahkan kalo ga inget saat itu kereta sudah sampe di Potsdam yang artinya "banyak orang turun naik kereta".

Beberapa bab di buku itu sudah ada di blog nya Helvy Tiana Rosa. Tapi tetap ketika membaca ulang, hati terenyuh.. apalagi kalo baca kalimat - kalimat Faiz, sang anak, yang saya bingung kenapa bisa sepandai itu dia berbicara dan merangkai kata. FYI buku kumpulan cerpen Faiz kecil punya Fikri (adik saya) masih berlaku sebagai pembanjir mata kalau dibaca ulang.

Contohnya penggalan dialog antara Helvy dan Faiz di bab "Bunda Fana dan Keabadian":

Tapi entah mengapa Faiz lantas terdiam. Betul - betul terdiam, hingga sepi melingkupi kami ...

"loh kenapa?" Tanya saya.

Ia mencium pipi saya. Matanya berkaca-kaca. "Fana, Ketidakabadian"

Saya mengernyitkan dahi lagi "Bunda Fana, kita semua fana, Nak..."

"Dan ketika kita berangkat dari fana menuju keabadian, aku ingin aku dan Nadya menjadi bukti abadi amal ayah dan bunda. Tapi apa aku bisa?" suara Faiz parau.

Saya tersekat.

"Doakan aku dan Nadya ya, Bunda. Biar jadi mata air dalam keabadian ayah bunda kelak"

Saya makin tersekat. Sebentar lagi airmata saya akan tumpah. Saya tahan. "Faiz dan Nadya insya Allah bisa. Berangkatlah dari satu titik yang sama, menuju titik yang sama: cinta hakiki ilahi Robbi, ya, sayang"

Indah ya? Perkataan indah seperti itu, dari anak yang (pada saat itu) semuda itu...

Well Nikah... sesuatu yang sakral yang... sampai agama kita pun bilang separuh agama disempurnakan disana. Kalau saya lihat pernikahan ayah ibu saya didalamnya banyak jabatan yang harus diemban. Dari kepala rumah tangga yang seperti presiden mencakup teknisi dan wikipedia berjalan, juga bendahara kadang.. lalu ibu yang menjadi ibu negara, wakil presiden, sekretaris, costumer service etc. hehe..

Entah seperti apa pernikahan kita (saya dan kamu-kamu yang belum menikah) kelak. Hmn.. Semoga siapapun yang sedang mengusahakannya diberi kemudahan dan selalu dilindungi Allah, bukan saja saat menuju ke jenjang pernikahan itu, tapi juga saat melewatinya dan menjalaninya. Amin

Comments

  1. "Jasad'a masih barada di Dunia, tetapi hatinya telah menapaki Akhirot"

    Semoga kita tidak memberatkan tanggung jawab Ayah dan Bunda kelak diakhirot.

    ReplyDelete

Post a Comment