Emak & Abah

Bismillah

Hari itu akhirnya saya bisa juga bermalam dirumahnya di desa Ciloa, Kuningan – Jawa Barat. Perempuan itu kini tinggal sendiri di rumahnya setelah beberapa tahun lalu suaminya tercinta meninggal.

Pagi setelah sarapan kami berdua berbincang di ruang keluarga yang langsung menghadap kearah balong dan pesawahan.Selama 24 tahun hidup dan menjadi bagian dari keluarga besar Abdul Sholeh rasanya saya tidak pernah berbicara seintim ini dengan nenek saya sendiri. Berbaring dipangkuannya, membaca buku sambil berbincang. Walau bahasa yang kami pergunakan tidak sama, beliau berbahasa sunda, sementara saya merespon dengan bahasa Indonesia, tapi kami menikmati perbincangan ini dan bercakap-cakap cukup lama.

Baru kali ini kulit berwarna gelap, keriput, tipis dan mengkilap itu rasanya hinggap di kening saya. Atau mungkin saya saja yg tidak pernah sadar kalau tangan itu pernah menyentuh saya waktu bayi ;) . Rasanya hangat, nyaman dan… membuat saya merasa paling disayang didunia.

Kami berbincang mengenai banyak hal, mengenai sepupu-sepupuku yang tahun ini tidak datang mudik ke Kuningan, mengenai balong bapak yang saungnya jadi rumah tinggal burung merpati, dan lainnya. Awalnya aku hanya diam, menikmati suara ibu dari ibu kandungku yang merdu itu sambil kadang tersenyum melihat wajahnya yang mirip bukan main dengan mama. Diotak terbesit juga sekelebat, jangan-jangan inilah cermin wujud tua ku kelak :D.

Saya mulai merespon kala nenek yang biasa kupanggil “emak“ itu membicarakan tentang suami sepupuku yang katanya seorang kyai muda berbakat dari kampung sebelah menolak bertani dan malah berdiam diri dirumah, tunggu orderan ceramah, dan mengeluh kepada emak karena pendapatannya yang hanya se“uprit“ itu.

Entah ini songong atau apa, tapi saya memang benci laki-laki memble yg katanya ngerti agama kok implementasinya nihil. (Mudah2an saya dan orang2 terdekat saya termasuk kamu yg baca ini bukan termasuk salah satunya.. aaamiiin). Kala itu sedikit emosi saya berkata, “mak, nabi Muhammad aja dagang dari kecil, bukan pengais uang dari dakwah. Kalau dia ngerti agama bukannya dia mencontoh nabi dan kerja keras ya mak?”

Terlihat wajah emak yg sedikit kaget. Wajahnya menerawang, lalu kemudian mengangguk. Tau dia bicara apa selanjutnya? Walau tidak begitu menjawab respon ku diatas, tapi seolah2 ada tamparan kecil nempel di pipi.

Kira-kira begini translate an nya dalam bahasa Indonesia, “emak mah ilmunya sedikit ika… selama ini Cuma abah saja yang banyak kasih tau emak, kalau ada masalah agama, emak selalu tanya abah, tapi sekarang emak suka bingung mau cerita ke siapa.
Abah hanya banyak ingatkan supaya emak dan anak cucu tidak tinggal shalat, membantu orang susah juga pesan si abah… emak lihat dia susah ya emak bantu sekadarnya. Mau bilang apa ke orangnya? dia yang lebih ngerti ilmunya ketimbang emak..”

Saya diam.

„Jaman sekarang anak muda sudah beda dari jaman dulu... ilmu yg didapat langsung dilakukan, dikerjakan. Abah juga pernah bilang, akan ada jaman dimana laki-laki berpakaian seperti perempuan, perempuan seperti laki-laki. Dulu jaman emak, tidak ada perempuan pakai celana panjang. Jelas sekali beda mana perempuan mana laki-laki“

Aku menarik nafas, melirik apa yg kukenakan saat itu...

„Emak suka nangis kalau dengar cerita abah kecil. Jaman masih tinggal sama mitoha (artinya: mertua)… abah bilang abah cuma punya satu celana dan satu baju bersih. Jadi andainya ke sawah abah hanya pakai singlet dan celana dalaman sementara baju bersihnya disimpan untuk digunakan shalat. Sementara itu mitoha emak hanya punya satu sarung, kalau si nini mau shalat tunggu aki pulang dulu dari langgar (mushola)… “

Entah kenapa saat itu juga saya nangis. Nangis karena malu mungkin ya?. Malu komentari orang macam2, tapi kelakuan, tabiat dan prilaku saya masih jauh dari kata zuhud, tawaddu... selalu rasa sombong dan sok tau yg dikedepankan.

Baru kali itu saya tau bagaimana abah saya pernah hidup. Selama hidupnya saya merasa baru sekali abah panggil nama saya, yaitu ketika kami menyantap combro pagi2 beberapa tahun yang lalu, ditempat yang sama seperti saya dan emak duduk pagi ini.

Saya hanya tau abah pedagang ikan, yang sering berjualan dari Kuningan ke Tasikmalaya dengan berjalan kaki untuk menghidupi istri dan 10 anaknya. Dan nenek saya… kesehatan yang masih ia peroleh hingga detik ini, mungkin adalah buah dari sabar, kerja keras, dan sifatnya yang selalu ingin belajar tentang agama seumur hidupnya…

Oh Allah You know I love them

So much.

Comments

Post a Comment